“Malam ini tidak ada cinta.” Kata-kata ini sering muncul dalam benaknya. Datang bagai daun-daun kering yang terputus dari rantingnya. Ia merasa gelisah seolah-olah membaca kalimat dari primbon tua yang bernuansa mantra.
Mungkin ia telah membaca kalimat itu dalam sebuah novel percintaan yang malang. Dan seperti umumnya seseorang dengan hati yang murung, ia mudah tergugah kata-kata yang indah. Malam itu seolah ia hanya memiliki kalimat itu, seperti pasrah memeluk takdir.
Seorang laki-laki akan melakukan sebuah tradisi, namanya Gowokan. Konon seorang laki-laki yang akan duduk di pelaminan harus siap fisik, mental dan ketrampilan teknis. Untuk alasan yang terakhir itu seorang jejaka harus dilatih oleh perempuan yang sudah mahir.
Pada sebuah kamar di suatu malam.…
“Gila!” kecamnya dalam kesendirian. Sementara Bapak Ibu dan Saudar-saudaranya mengungsi ke rumah kerabatnya di kampung tetangga seolah di rumahnya ada musibah. Ya, disana ada musibah.
“Malam ini tidak ada cinta. Malam ini tidak ada cinta…,” begitu berulang-ulang layaknya seorang yang sedang bezikir. Sementara di langit-langit ruangan itu baling-baling kipas angin berputar datar mengantarkan segumpal kegundahan dan kepedihan yang terbentuk di dalam hatinya.
Tanpa disadari, sesosok perempuan muda yang bertubuh sintal tiba-tiba berada di hadapannya. Keduanya tegak berhadapan seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah di simpan, tetapi sebenarnya tidak!
“Aku akan melatihmu malam ini. Melatih memadu kasih asmara dari pancaran aura yang tertahan,” kata perempuan itu sambil tangannya menyentuh tangan sang laki-laki. Tetapi laki-laki itu menolak.
“Bagaimana aku harus melekatkan tubuhku dengan tubuhmu, bila aku sangat mencintai calon isteriku,” kata laki-laki itu mencoba menahan diri. “Pergilah!” lanjutnya.
“Tidak! Aku datang utusan budaya. Tugasku belum aku laksanakan, apa tidak menjadi kutukan yang tak terelakkan?” jawab perempuan itu lagi.
Laki-laki itu diam…
Perempuan itu juga diam…
Semua terdiam…
Anda sekalian juga diam..!
Beberapa saat terasa sunyi di tempat itu, padahal begitu ramai pengunjung di panggung budaya itu. Ya, seseorang sedang membacakan cerpen dengan judul “Malam Ini Tidak Ada Cinta”.Tetapi tiba-tiba…
“Bagaimana kelanjutan ceritanya, Mas Sigit? Kok berhenti!” kata perempuan yang duduk agak depan diantara orang-orang yang menyaksikan pertunjukan itu.
“Siapa namamu, gadis cantik?” tanya si cerpenis gendeng itu sambil maju dan membungkuk menatap tajam si penanya..
“Fitri…! Lengkapnya Annisa Fitriasri…” katanya setengah berteriak.
“Terima kasih Fitri… Terima kasih kepada semua yang hadir pada malam ini. Untuk Fitriasri, lanjutkanlah kisah ini. Kepada semuanya, kalianlah yang melanjutkan!” Sigit keluar panggung dengan enjoy tanpa merasa bersalah sekalipun. Kemungkinan juga dia tidak diberi honor dengan pertunjukan seperti itu. Tetapi biarlah…
Tidak dapat dihindari kekecewaan pengunjung, “huuuuu….!” Tetapi aku tahu, itu tidak membuat kapok, apalagi putus asa untuk tidak menonton setiap pertunjukannya. Penonton sudah hafal betul terhadap karakter ‘cerpenis gendeng’ ini. Bahwa cerpenis yang satu ini bisa tiba-tiba mengecewakan sekaligus memiliki power pengaruh penontonnya dalam penantian. Great!
Di belakang panggung, usai pertunjukan Fitri mengejar Sigit saat diketahuinya ia sedang berjalan menuju mobilnya.”Mas Sigit..!“ Fitri memanggil.
“Ya Nona… Ada apa?”
“Saya sangat menggemari cerpen-cepen Mas Sigit.”
“Cerpen yang mana?” tanyanya sambil mengernyitkan alisnya.
“Itu lho, ada Kota Langit, Surat Untuk Edo, saya juga suka cerpen Oil Dewa yang lucu itu, Mas Sigit.”
“Oo…begitu, baiklah . Persembahan ‘Malam Ini Tidak Ada Cinta’ biar saya khususkan untuk kamu saja. Kamu lihat sendiri, semua penonton menyoraki aku dan hampir-hampir lemparan botol minuman kaleng sampai kena wajahku, kan?”
Ya, sejak itu mereka berdua akrab. Berdua kemana-mana. Saat di dalam kampus, di mall atau sedang belanja sekalipun mereka berdua seperti sejoli yang sedang kasmaran. Sigit agaknya mencintainya dan Fitri pun begitu. Tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaan mereka dan perbuatan mereka. Aku hanya tahu satu hal, bahwa besok adalah hari terakhir bagi mereka untuk bersama-sama. Sigit akan pulang kampung karena ada panggilan kerja dan Fitri belum selesaikan kuliahnya.
Perpisahan itu mereka habiskan di sebuah pegunungan kecil nan indah di Ungaran. Sebuah kawasan yang tidak begitu panas pun tidak begitu dingin, hawa yang penuh kesejukan. Mereka mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk menikmati pemandangan. Tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit.
Hari menjelang petang, tetapi mereka seperti tidak mau saling melepaskan, tidak boleh salah satunya pergi. Malam itu terpaksa mereka berdua bersama-sama. Entahlah
dimana.
Sementara langit terkelupas berwarna jingga, menandakan tiba senja. Sampai di puncak pendakian kabut yang menebar dinginnya aura malam, mereka belum berpisah juga.
“Kita berdua telah didalam sekat-sekat kabut, seolah kita masuk di dalam kamar pengantin dan kau meminta lampu diredupkan. Kita akan lupa hari esok karena keindahan malam ini, sayang,” kata Sigit tiba-tiba memecah suasana tetapi menambah syahdu keadaan saat itu.
“Ya, kenangan ini akan terbawa pulang,” jawab Fitri sambil tersenyum menatap lembut mata Sigit. “Tetapi kita bukan pasangan pengantin, Mas?” lanjut Fitri.
“Ya, tetapi ingatkah beberapa hari yang lalu, kita berdua di dalam becak dan diluar hujan deras sekali. Tirai plastik menutup kita, kita tidak bisa melihat keluar dan yang diluar tidak bisa melihat kita. Sementara abang becak terus menunaikan tugas mengantar kita. Tidakkah kau lihat, kita seperti pengantin yang ditandu mirip pengantin Cina pada masa lalu? Aku sangat bahagia Fit…”
Fitri mendekat padanya. Sementara kabut tebal datang kepada mereka. Begitu tebal kabut itu, seolah mereka terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatupun dari jarak yang sangat dekat. Kelambu kabut itu menutup mereka dari pandangan dunia.
“Masih adakah yang ingin kau ajarkan, Mas?”
“What?” Sigit terkejut. “Apa maksudmu?”
“Cerpenmu telah aku lanjutkan. Kau pun melanjutkan… Tetapi malam ini aku calon pengantinnya, dan kau yang melatihku…” jawab Fitri sambil terisak-isak di pangkuannya.
Serpihan kabut menyapu wajah mereka bagaikan serbuk embun dipercikkan.
“Apakah kau akan menikah dengan orang lain, Fit?”
“Bekas ini akan aku bawa pulang dan akan ada yang menghapusnya, bagaimana denganmu?” tanya Fitri sementara Sigit diam menangis.
“Maafkan aku, sesungguhnya rasa sayangku milikmu. Tetapi…?”
“Tetapi apa?”
“Malam ini tidak ada cinta. Aku menyukai cerpenmu, aku tidak suka cerpen sang idolaku terhenti, terputus di tengah jalan. Bukankah kau ingin supaya aku melanjutkan kisah itu? Aku sangat menyayangi Mas Sigit, tetapi aku akan menjadi milik orang lain. Besok aku ada yang menjemput kehidupanku.”
“Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat aku menyimpulkan rasa ini, tetapi….”
“Sadarlah, Mas. Itu tak akan mungkin terjadi. Kita tak mungkin bisa bersama lagi.”
“Tapi mengapa, Fit? Mengapa? Apakah kau tak ingin kita kembali seperti dulu? Masih ingatkah, ketika matahari hampir terbenam, kita duduk di atas bebatuan. Menunggu kiriman gelombang dari laut, lalu kita membalasnya dengan sajak-sajak cinta. Menulisnya dengan kasih, dengan sayang. Tapi mengapa? Mengapa sekarang kau pergi? Kau pergi dengan akhir seperti ini. “
“Mas, sudahlah. Jangan kau ungkit masa lalu. Lupakan saja. “
“Apa? Lupakan? Setelah sebagian hidupku kuabadikan untukmu, kau selalu menjadi sumber inspirasiku, kisah-kisahku hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Fit, aku tak bisa.”
“Mas, apa kau tidak tahu, aku tak akan bisa lagi di sampingmu, menyambung kembali benang kenangan kita, menyulamnya jadi harapan, jadi impian yang kau katakan. Tidak, itu tak mungkin. “
“Fitri, rasa rinduku masih bergelora. Dan seperti dulu, masih seperti dulu, aku menulis penantian dalam kekecewaan yang telah jadi kanvas, tempatku menulis gundah, melukis resah, tempat mendiskusikan segala keluh-kesah, memperdebatkan tentang sebuah pertanyaan, mengapa kita berpisah?”
“Mas, Tolong jangan kau lanjutkan. Malam ini tidak ada cinta. Aku juga sakit, Mas. Aku menyayangimu. Tetapi aku ingin melihatmu seperti dalam cerpenmu ‘Surat Untuk Edo’ sosok seorang Edo yang tegar seperti batu karang. Aku juga sebenarnya tidak tega melihatmu seperti ini, atau aku berbicara kasar seperti perkataan orang bodoh. Tetapi kau harus tahu, Mas. Aku harus meninggalkanmu karena aku akan menjadi milik orang lain. Dan aku mengikutimu ini, karena aku sayang padamu, Mas? Kamu harus tahu itu!” Kalau aku tidak menyayangimu, aku pasti tidak mau melanjutkan kisahmu yang teputus itu. Aku telah rela mengorbankan semuanya demi kamu, Mas?” Fitri menangis tersedu-sedu.
“Mas, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih menyembunyikannya padamu. Karena aku mencintai calon suamiku. Bukankah, dalam cerpenmu, saat sang laki-laki diserbu nafsu pelatih asmaranya, dia katakan bahwa cintanya hanya untuk calon isterinya? Kamu harus adil, Mas?”
“Fitri… Maafkan aku,” Sigit masih terisak-isak dalam pelukan Fitri yang ikut larut di dalamnya.
“Aku juga mohon maaf, Mas. Sentuhan kisahmu akan selalu membelai mimpi malamku. Teruslah berkarya, menulis dan jangan sia-siakan pengorbananku. Aku akan selalu rindu padamu, Mas, juga cerpen-cerpenmu. Kau pun berhak membuatku cemburu pada penantian di hari-hariku, juga suaramu yang telah mengisi imaji hingga kehampaan tak pernah bisa bertandang di benakku. Tapi, Mas, setelah kepergianmu, dan pencarianku pun tak berujung pertemuan, penantian tak menampakkan harapan, membuatku kehilanganmu.. Aku kehilangan. Di laut kenangan kita, aku mati. Terkubur dalam cerita-cerita yang berujung pada perpisahan. Pahamilah Mas, aku pun semakin rapuh bersama rumah rindu yang terus dihujani air mata.”
“Fitri, simpanlah semua cerita kita. Janganlah kau mati di dalamnya. Tetaplah jiwamu bergelora. Kau inspirasiku. Jangan lupa berkirim doa dan harap pada Tuhan. Jangan kau lupakan itu. Tuhan telah memberikan kita kata, kata itu yang telah melahirkan huruf-huruf cinta, di dalamnya telah berhikayat perjalanan kembara kita yang berhasil merangkum luka, kecewa, air mata dan sengsara jadi kehidupan, jadi sejarah lalu jadi kita.”
“Mas, percayalah. Aku ingin selalu hidup di dalam kisahmu. Aku tak akan menikam kepiluan, keperihan, juga menusuk jantungmu dengan kelu hingga biru. Teruslah berkisah… Maafkan aku jika malam ini tidak ada cinta. Semoga berbahagia, karena cerpenmu telah tertuntaskan. Besok kita pulang membawa kepedihan masing-masing dan keluar dari kepompong kabut yang memudar.”
*Lagi males menulis tentang forex...
0 komentar:
Silakan Gunakan Kolom berikut Untuk Bertanya Lebih lanjut"! Salam KELUARGA BESAR O-KAO!