Ini adalah sebuah cerita yang inspiratif yang saya kutip dari beberapa sumber, yaitu ketika cinta bertasbih,karangan Habiburahman El- Sirazyi, Majalah Bara’ilmu Iman,suplemen untuk anak dari Majalah Al-Wa’yu Al-Islam,Mesir,dengan penambahan seperlunya.
Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa saat kemudian, rombongan kambing datang melintas. Bayi singa itu menggerakkan tubuhnya yang lemah. Merasa iba, seekor induk kambing menghampiri. Terbitlah narulinya untuk melindungi dan merawat anak singa itu.
Sang induk membelai dengan penuh kasih sayang. Merasakan kehangatan kasih sayang induk kambing, bayi singa mulai betah dan tak mau berpisah dengan si induk. Ia terus saja mengikuti ke mana pun induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu.
Hari berganti hari, anak singa tumbuh besar dalam asuhan induk kambing dan hidup komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkahnya lakunya juga persis layaknya kambing. Bahkan, ia mulai mengeluarkan suara layaknya kambing. Ia mengembik, bukan mengaum. Ia kini merasa darinya adalah kambing, tidak berbeda dengan anak-anak kambing lainnya. Ia sama sekali tak merasa bahwa ia adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.
“kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
Namun, anak singa yang sejak kecil hidup di tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Anak singa itu juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing, yang juga anak si induk yang memeliharanya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah. “seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa mengusir serigala yang jahat itu!”
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing yang lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Ia kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai induknya dicengkeram serigala. Dengan nekat, ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget buka kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya.
Serigala itu gemetar ketakutan. Nyalinya habis. Ia pasrah, merasa hari itu adalah akhir hidupnya. Tiba-tiba, singa itu berteriak dengan keras, “Embeeeeek!”. Lalu ia mundur mengambil ancang-ancang menyeruduk lagi.
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa singa bermental kambing itu.
Saat singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepala layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya.
Anak singa itu terjerembap dan mengaduh, suaranya lagi-lagi persis seperti kambing mengaduh “embeeek!”. Sementara, induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala? Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikit pun, serigala itu menyerang anak singa yang mengaduh. Serigala itu siap menghabisi nyawa si anak singa. Di saat yang kritis, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun pada saat itu,seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.”Aaaaaaaaaaaaauuuuuuuuuuuumm!”
Semua kambing ketakutan dan merapat. Anak singa itu juga ikut takut dan merapat. Sementara,sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.
Saat kambing-kambing itu berlarian menyelamatkan diri, si anak singa langsung ikut berlari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa seekor anak singa ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu, jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku tak akan memangsa anak singa!”
Namun, anak singa itu terus lari dan lari . singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tetapi malah mengejar anak singa. Akhirnya, anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan.”jangan bunuh aku!”
“kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak akan membunuh anak singa.” Dengan meronta-ronta, anak singa itu berkata,”tidak aku anak kambing!Tolong, lepaskan aku.” Anak singa itu meronta dan berteriak dengan keras. Suaranya bukan auman, tetapi embikan, persis seperti suara kambing.
Singa dewasa sangat kaget. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram, ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu . begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri lalu menbandingkan dengan singa dewasa. Begitu melihat bayangan dirinya,anak singa itu terkejut. “ oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”
“ya, karena kamu sebenarnya anak singa, bukan anak kambing!” tegas singa dewasa.
“jadi,aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa?”
“ya, kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seisi hutan! Ayo, aku ajarkan menjadi seekor raja hutan!”kata singa dewasa.singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu meniru dan mengaum dengan keras. Ya, mengaum menggetarkan saentero hutan. Tak jauh dari singa itu, serigala ganas tadi lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar suara auman anak singa itu.
Anak singa itu kembali berteriak penuhkemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
Saya sungguh tersentak oleh kisah ini. Saya berpikir, jangan-jangan kondisi sebagian dari kita mirip dengan singa itu. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimiliki.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya biasa-biasa saja, ala kadarnya, hidup dalam keadaan dibelenggu kebutuhan sendiri. Hidup dalam tawaran rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Mari kita amati orang-orang di sekitar kita. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya, hidup dinamis dan prestatif, melakukan sesuatu, berbuat kebaikan, sangat paham menjawab dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan bagaimana dia harus hidup. Hari demi hari di lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan kerja serta kebaikan, pretasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadapinya.
Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang hidup apa adanya, tidak memiliki arah yang jelas, tidak paham untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus hidup . kita sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya, “bagaimana anda menjalani hidup anda? Apa prinsip hidup anda?”, lalu mereka menjawab secara filosofis, “saya hidup bagaikan air mengalir, santai saja!”
Sangat disayangkan, mereka tidak benar-benar tahu filosofi”mengalir bagaikan air” tersebut. Mereka memahami filosofi itu sebagai menjalani hidup dengan santai. Sebenarnya, jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu cara mengisi hidup, cara menjalani hidup yang berkualitas. Alasannya? Mereka tidak tahu siapa diri mereka sendiri. Potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka. Bisa jadi,mereka sebenarnya adalah seekor singa,tetapi karena ketidaktahuan, mereka menganggap dirinya adalahseekor kambing hanya karena selama ini hidup di antara kawanan kambing.
Bisa dibilang filosofi hidup bagaikan air mengalir masih merupakan prototype sebagian masyarakat kita. Bahkan, bisa jadi adalah gaya hidup sebagian umat muslim di dunia. Ketika pulang ke kampung halaman, kita kadang melihat lambatnya perubahan yang terjadi. Cara berpikir masyarakat masih sama. Cara hidupnya pun masih sama. Mungkin ada perubahan, tetapi terasa lambat. Aada pak fulan yang masih berjualan es campur dari saat kita kecil sampai kini sudah menikah dan memiliki anak. Ada mas fulan yang dulu berjualan bakso, sekarang pun masih menjual bakso.
Bahkan, sebagian teman kita yang dulu ketika di bangku SD terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah bercita-cita menjadi ini dan itu, setelah sekian tahun berlalu ternyata jauh panggang dari api. Orang-orang yang dulu hidup memprihatinkan, ternyata sebagian besar masih hidup memprihatinkan,ternyata sebagian besar masih hidup memprihatinkan.
Mengapa tidak ada perubahan? Jawabannya karena mereka tidakmau berubah. Mengapa tidak mau beerubah? Jawabannya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus berubah. Bahkan, kalaupun tahu bahwa mereka harus berubah,mereka tidak tahu bagaimana caranya berubah. Mengapa mereka tidak tahu cara berubah? Karena mereka terbiasa hidup pasrah,hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Cara hidup seperti itu terus diwariskan turun-temurun. Bahkan, saking putus asanya melihat mental anak bangsa Indonesia, seorang sastrawan berucap, AKU MALU JADI ORANG INDONESIA!
Di banyak tempat, kita masih menemukan orang-orang bermental lemah,hidup apa adanya, dan tidak terarah.parahnya, sebagian besar “penyakit” lemah mental ini adalah penyakit yang dibentuk. Biasanya, dibentuk oleh lingkungan yang bahkan telah dilakukan saat masa kanak-kanak sehingga makin terlihat saat dewasa.
Saat menunjukkan kekecewaan, penolakan, bahkan ketidaksetujuan terhadap keinginan anak, terkadang orangtua mengungkapkannya dengan cara yang salah dan mengeluarkan kalimat-kalimat negative,misalnya anak bodoh, pemalas, kebluk, dan seterusnya. Hasilnya, dia menjadi pemalas, bodoh, dan kebluk. Sebagian orangtua juga nyaris tidak bisa melepaskan belenggu melemahkan mental anak. Tak banyak anak yang setiap hari tidak disalahkan. Tak banyak anak yang setiap hari dihargai sebagaimana manusia yang memilih ruh, buka robot yang gampang diperintah. Ketika sudah kuliah, sebagian di antara mereka juga tidak tahu mengapa mereka memilih jurusan A dan untuk apa mereka memilih jurusan tersebut. Pokoknya, asal kuliah dan meraih gelar sarjana lalu dapat kerja, bukan untuk mencerahkan pikiran dan menghayati kesarjanaan kehidupan itu sendiri.
Orang-orang kemudian menjadi “rabun” dan tidak tahu potensi terbaik yang diberikan Allah kapadanya; oarng-orang yang rela ditindas dan dijajah kesengsaraan dan kehinaan. Padahal, sebenarnya jika mereka mau, pasti bisa hidup merdeka,berwibawa, dan sejahtera. Tak terhitung betapa banyak masyarakat kita yang bermental kambing,padahal mereka adalah singa. Banyak yang minder dengan bangsa lain. Padahal, bangsa ini adalah bangsa yang besar, umat ini adalah umat yang besar.
Bangsa ini sebenarnya adalah sriwijaya yang perkasa menguasai nusantara. Juga, sebenarnya Majapahit yang digdaya dan berkuasa. Lebih dari itu, bangsa ini merupakan pemeluk agama islam terbesar di dunia. Ada dua ratus juta umat islam di negeri tercinta ini.
Banyak yang tidak menyadari maknanya. Dua ratus juta umat Islam di Indonesia berarti ada dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia. Sayangnya, masih ada di antara dua ratus juta singa ini yang bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing. Bukan layaknya singa! Lebih memprihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya adalah seekor singa, tetapi memilih tetap menjadi kambing. Hanya karena terbiasa menjadi kambing, dia malu menjadi singa! Malu untuk maju dan berpretasi.
Parahnya, mereka yang memilih tetap menjadi kambing, menginginkan yang lain tetap pula menjadi kambing. Mereka tidak ingin orang lain menjadi singa. Bahkan, mereka ingin orang lain menjadi kambing yang lebih bodoh!
Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai umat yang terbaik di muka bumi ini. Marilah kita pupuk mental itu. Jangan bermental seperti umat yang terbelakang.
“kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia karena kalian menyuruh berbuat yang makruf,mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”(Q.S.Ali Imran [3]: 110)
****
0 komentar:
Silakan Gunakan Kolom berikut Untuk Bertanya Lebih lanjut"! Salam KELUARGA BESAR O-KAO!