Ngak terasa aku sama Gilang udah 2 tahun pacaran , dia yang selama ni melengkapi hari-hari ku dan dia juga melengkapi hati ku. Aku juga punya sahabat namanya Bela, aku udah anggap dia sebagai saudara ku sendiri.
Hari ini aku mau beliin kado buat Gilang karna besok adalah hari jadi aku sama Gilang sekaligus hari ultahnya Gilang. Aku sengaja engak ajak Bela karna dia sibuk ngurusin sepupunya yang lagi sakit. Rencananya aku mau beliin dia kue ultah berbentuk hati dan jam tangan buat ultahnya. Karena aku pernh ngejatuhin jam tangannya dia ke air. Dan rusak.
“Emm.. itu dia kue yang aku cari."
“Mbak, aku mau kue ini 1 ya?”
“Iya, segera.”
“Kue udah dapet, terus aku mau beliin dia jam tangannya kira-kira kayak gimana ya?” gumam ku sendiri.
Tiba -tiba langkah ku terhenti. Jantung ku berdetak kencang. Tepat di depan mata ku sendiri Gilang dan Bela berda di kafe ice cream dan mereka suap-suapan. Kue yang tadi ku pegang langsung jatuh ke tanah. Aku berlari menjauh. Tapi Bela melihat ku dan dia mengejar ku..
“Sya.... Tasya.... aku..... sya....”
Aku terus berlari. Bahkan aku tidak menyadari Gilang yang kini tiba – tiba sudah berdiri di hadapanku.
“Sya, aku… aku…”
“Udah, aku udah tau kok, engak usah kamu jelasin lagi lang..”
“Sya, aku sama Gilang.. cuma.....”
“Cuma apa? Hianatin aku? Menusuk aku dari belakang? Iya?”
“Sya, aku memang pacaran diam – diam sama Gilang beberapa bulan ini. Aku mau jelasin. Tapi.”
"Uudah, aku muak liat kalian. Jangan perlihatkan muka kalian di depan ku lagi!”
“Sya, aku…”
“Tega kamu ngehianatin aku. Emang jahat kalian berdua.”
Air mata ku berjatuhan. Aku menyetir mobil ku dengan kecepatan tinggi. Entah ke arah mana, sampai tau tau aku tiba di pantai. Sekedar untuk menenangkan diri aku sengaja berteriak sekencang – kencangnya.
“Kenapa kamu melakukan ini sama aku Lang?! Kenapa?! Kamu jahat…!!!”
Disaat emosiku yang benar benar melonjak tanpa sadar mata ini menangkap kaleng disamping. Entah dapat pemikiran dari mana langsung saja aku lempar seolah-olah aku melemparkan semua beban hidupku selama ini.
“Awwww. Sial. Siapa ni yang ngelempar kepala aku?!”
“Aduh. Mati aku. Kok aku nggak tau ya disitu ada orang.”
“Ehhh loe. Sini nggak loe. Loe kan yang ngelempar kaleng ini ke gue?”
“Gue? Bukan. Enak aja main tuduh sembarangan” elak ku berusaha membela diri.
“Disini cuma ada loe sama gue doank. Mana mungkin ada orang lain lagi. Lagian loe kan yang dari tadi teriak teriak kayak orang stress.”
Busyet, aku di bilang stress.
“Enak aja. Gue di bilang stress. Loe itu yang stress, main tuduh sembarangan lagi.”
“Nggak usah nyolot. Buruan minta maaf.”
“Nggak mau. Wueek.”
Dan tanpa ba bi bu, aku langsung kabur. Masuk kedalam mobil dan langsung berlalu pulang. Sudah tau suasana hatiku buruk, kenapa masih harus di tambah dengan ketemu orang yang malah memperburuk keadaan. Menyebalkan.
Saat tiba di rumah aku segera menuju kekamar mandi. Hari juga sudah hampir malam. Berharap suasana hatiku bisa lebih baik, ternyata masih sama. Air mata ini kembali menetes mengingat kejadian tadi. Tanpa sadar aku tertidur.
Suara deringan alaram yang memekakan terlinga membuatku terjaga. Mata ini masih terasa berat. Sepertinya efek karena terlalu banyak menangis sebelumnya. Namun saat mata ini melihat jarum yang tertera, rasa mengantuk itu pun langsung sirna. Astaga, mampus. Aku pasti telat.
Cerpen I hate you but i love you
“Untung cuma telat 3 menit,” gumamku saat pertama kali menginjakan kaki di kelas.
“Pagi anak-anak. Kita hari ini kedatangan murid baru pindahan dari Bandung. Silahkan perkenalkan nama kamu.”
“Pagi semuanya. Nama ku gue Rendi. Aku siswa pindahan dari Bandung.”
“Rendi.. kamu silakan duduk sama shila.”
Sekilas aku kembali melirik kearah anak baru itu. Ingatan ku segera bekerja. Aku yakin aku pernah melihatnya. Tapi dimana ya?
“Ketemu lagi kita.”
“Ya?” aku menoleh. Dan saat itu aku langsung yakin. Dia kan cowok nyebelin korban lemparan kaleng kemaren. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini.
Rendy tidak membalas, hanya matanya yang sedikit menyipit kearahku. Tatapan mata permusuhan. Bodo amat. Aku lebih memilih untuk mengabaikannya. Bahkan sampai tiba giliran pulang sekolah.
“Sya, mau pulang bareng nggak.”
Aku menoleh sambil menatapnya sinis. Setelah dengan kurang ajarnya dia merampas pacar aku kini dengan tanpa dosanya, Bela menghampiri.
“Pergi aja deh loe. Jauh jauh dari hidup gue” Aku sama sekali tidak perlu menahan diri untuk menjaga bicara.
Bela tidak menjawab. Kepalanya sedikit mendunduk. Sepertinya merasa sedikit bersalah, tapi aku sama sekali tidak perduli.
“Bela, ayo kita pulang.”
Tanpa menoleh, aku tau itu suara Gilang. Dasar cowok brengsek.
“Sya, gue duluan ya.”
Aku hanya membuang muka, barulah setelah keduanya menghilang aku kembali menangis. Aku baru tau kalau di hianatin itu rasanya sesakit ini.
“Kenapa loe? Iri ya temen loe punya pacar sementara loe nggak?”
Aku menongak, mendapati wajah Rendi langsung menyambutku.
“Diem dech loe kalau engak tau apa-apa soal gue.”
“Dasar aneh” gumam Rendi lirih namun masih mampu ku tangkap.
“Loe yang aneh, rese.”
Selesai berkata aku segera bangkit berdiri. Berlalu tanpa kata lagi. Namun bukannya pulang, langkah kaki ini malah membawaku kearah taman sekolah. Apalagi yang bisa kulakukan disini selain kembali menangis meratapi nasip yang menimpaku.
Dan hal itu tidak hanya terjadi sekali. Sejak aku belum bisa move on dari Gilang dan Bela aku selalu ke taman untuk menangis. Bukan hanya taman sekolah tapi juga taman kota. Dan itu lah yang aku lakukan saat ini.
“Tuhan memang nggak adil” keluh ku disela sela isak tangis.
“Siapa bilang?”
Aku menoleh. Ah lagi – lagi dia. Dengan cepat aku membuang muka sembari berujar. “Mau ngapain lagi si loe Ren?”
“Loe yang ngapain disini perasaan gue udah dari tadi.”
“Loe ngikutin gue ya? Iya kan?” tuduh ku langsung.
“Ngapain juga gue ngikutin elo. Dasar cewek aneh.”
Aku terdiam. Percuma juga menghadapi anak yang satu ini. Sehingga aku memilih mengabaikannya dan menganggap dia tidak ada.
“Sya, loe kenapa nangis. Gue kan tadi cuma bercanda.”
Aku terdiam, tapi air mata ini masih terus menetes.
“Apa karena Gilang dan Bela?”
Aku menoleh kaget. Pertanyaan dari Rendi sama sekali tidak pernah ku duga.
“Nggak usah mengelak. Gue ngerasa kok. Ada yang aneh sama kalian. Gue ngerasa loe benci banget sama mereka.”
“Bukan urusan loe,” ujar ku ketus.
“Memang bukan urusan gue, tapi loe tau nggak si katanya kalau kita cerita tentang masalah kita sama orang lain, beban kita akan berkurang.”
Kali ini aku mendunduk. Sepertinya ucapan Rendi ada benarnya. Dan sebelum aku menyadari apa yang aku lakukan, cerita itu pun meluncur mulus dari mulutku.
Cerpen I hate you but i love you
“Woi, ngelamun aja. Kesambet entar.”
Merasa kaget aku langsung menoleh. Lagi lagi wajah Rendi yang ku temui. Heran juga kenapa beberapa hari ini tu orang selalu berkeliaran di sekitar aku ya. Bahkan saat aku di tepi pantai sendirian begini.
“Eh… Enggak kok” elak ku sambil mencoba tersenyum. Rendi ikut tersenyum. Tanpa kata ia segera duduk di sampingku.
“Loe sering kesini? Atau jangan jangan loe ngikutin gue. Kok kayaknya dimana mana gue selalu ketemu loe terus.”
“Geer banget si. Gue kesini itu mau liat matahari terbenam tau.”
“O” aku hanya beroh ria sambil mengangguk membenarkan.
Untuk sejenak kami berdua terdiam. Suasana senyap yang menyenangkan.
“Bagus ya.”
Keningku sedikit berkerut saat menoleh kearah Rendi. Tapi dia hanya memberi isarat untuk menatap kedepan. Dimana tampak bola keemasan yang mulai kembali balik keperaduannya. Menatap matahari terbenam di tepi pantai benar benar keindahan tersendiri yang tidak pernah aku bayangkan.
“Iya. Bagus banget.”
Tanpa sadar bibir ini tersenyum. Bahkan aku juga tidak menyadari kala tatapan Rendi yang beralih tak berkedip kearahku. Yang aku tau aku merasa damai.
Cerpen I hate you but i love you
“Sya, gue minta maaf. Gue.”
Nggak tau kesambet apa, pagi ini Gilang menemui ku dan tiba tiba mengatakan maaf. Memangnya dia pikir sesederhana itu.
“Please ya. Jangan ganggu hidup gue lagi.” Kataku sebelum kemudian berlalu. Sialnya aku malah kesandung dan jatuh. Ya Tuhan.
“Eh cewek rese udah datang. Kenapa loe nangkep kodok?”
Rendi? Lagi? Astaga. Menambah buruk suadana hati aku saja. Dengan cepat aku berlalu.
Saat isitrahat tanpa sengaja aku melihat Gilang sama Bela lagi mesra-mesraan di samping sekolah. Hatiku sakit banget. Kenapa aku harus ngeliat mereka coba, aku berlari meninggalkan mereka dan menangis di Belakang sekolah.
“Nangis mulu, nggak cape ya?”
“Hei, loe itu hantu ya? Gentayangan dimana mana. Kenapa si gue harus ketemu sama loe terus,” geram ku saat melihat Rendi yang kini ada disamping.
“Jangan salahin gue, salahin loe sendiri kenapa selalu nangis sambil menghampiri gue.”
Merasa kesal aku segera bangkit berdiri. Berlalu meninggalkan Rendi sendirian.
“Eh, Cewek rese. Mau pulang bareng engak? Mumpung gue lagi baik hati ni sama lo.”
“Engak gue bawa mobil sendiri kok.”
“Awas kalo lo ikut gue lagi.”
“Siapa yang ngikutin elo si. Aneh banget.”
Aku terus menyetir. Namun bukannya kerumah gue malah kembali kepantai. Lama aku berdiri disini. Meratapi nasip yang aku alami. Jujur saja aku sama sekali tidak belum bisa melupakan Gilang. Pikiranku benar benar di penuhi dengannya. Bahkan aku sama sekali tidak menyadari kaki ini yang terus melangkah.
“Apa bener ini jalan gue. Kenapa gue yang harus ngalamin ini semua. Cobaan ini terlalu berat. Mereka bohongin gue 2 tahun.”
“Eh cewek rese. Gila loe ya. Loe mau mati.”
Suara itu lagi. Apa aku berhalusinasi. Kenapa sepertinya ada suara Rendi. Dan saat aku menoleh.
“Apaan sih Ren, lepasin gue.”
“Loe gila ya, Loe mau bunuh diri?. Hei, loe masih punya nyokap sama bokap. Loeengak sayang apa sama mereka?!”
“Mereka aja engak sayang sama gue Ketemu aja sebulan sekali. Mereka tuh ngurusin urusan kerjanya masing. Engak mikirin anaknya gimana.”
“Sya, mereka itu kan kerja juga buat loe. Kalo mereka ngak kerja loe ngak mungkin bisa di sekolah elit kayak gitu. Loe jangan mikirin diri sendiri aja donk. Pikirin org yang ada di skitar loe juga. Masih ada orang yang sayang sama loe.”
“Siapa?”
“Gue!”
“Hh…”
“Maksut gue temen…”
“Loe…”
“Lepasin gue ren. Kenapa sih loe?”
“Jalan loe ini salah sya. Uudah dengerin gue.. sini.”
“Eeehhhh... loe kenapa gendong gue.”
“Abisnya lo ngak denger kata gue sich.”
“Sya.... gue....gue... jujur... gue ngax mau kehilangan loe... gue... sayang sama loe...”
“Iya, gue tau sebagai teman.”
“Bukan gitu. Sebagai lebih dari teman.”
“Maksud loe?” tanya ku bingung.
“Gue suka sama loe semenjak gue pertama kali ngeliat loe ngelemparin gue pakai kaleng itu.”
“Gue kan engak sengaja. Loe sich maen tuduh aja.”
“Jujur, gue saying sama loe, Loe mau nggak jadi pujaan hati gue, maksut gue jadi pendamping hidup gue, jadi pacar gue, jadi….”
“Bebelit banget sich lo ngomong nya,” gerutku. “Tapi gimana ya ren, gue engak mau kehilangan lagi orang yang gue syang.”
“Tapipi sya, gue bukan Gilang. Gue benci kalo loe samain gue kayak Gilang. Gue beda kayak dia. Sumpah, gue bakal jagain loe sama kayak gue jagaain gue sendiri.”
Rendi belutut di hadapan ku sambil megang tangan ku.
“Gue mohon terima gue sya. Gue mohon. Gue sayang sama loe.”
“Sori ren.. gue... ngax bisa...”
“Gitu ya? Gue ngerti kok. Loe masih ngak bisa ngelupain Gilang kan?”
“Gue bakal berusaha ren... buat loe.. Makasih buat selamanya. Udah bikin gue semangat hidup lagi.”
“Apa?”
“Loe ngak budeg kan? Gue mau jadi pacar loe sekaligus jadi pedamping hidup loe.”
“Beneran?. Ah, gue seneng banget Tasya.” Kata Rendi sambil mengandeng tangan ku sembari berlarian di pantai.
Kali ini aku tersenyum. Berharap ini merupakan langkah awal dari hari bahagiaku. Rendi memang bukan Gilang, dan aku berharap di tidak menjadi seperti Gilang. Biarlah Gilang menjadi masa lalu dan Rendi menjadi masa depanku.
_THE END_
Biodata penulis :
Nama: Margareta
email: rolen_qiw@yahoo.com
Hari ini aku mau beliin kado buat Gilang karna besok adalah hari jadi aku sama Gilang sekaligus hari ultahnya Gilang. Aku sengaja engak ajak Bela karna dia sibuk ngurusin sepupunya yang lagi sakit. Rencananya aku mau beliin dia kue ultah berbentuk hati dan jam tangan buat ultahnya. Karena aku pernh ngejatuhin jam tangannya dia ke air. Dan rusak.
“Emm.. itu dia kue yang aku cari."
“Mbak, aku mau kue ini 1 ya?”
“Iya, segera.”
“Kue udah dapet, terus aku mau beliin dia jam tangannya kira-kira kayak gimana ya?” gumam ku sendiri.
Tiba -tiba langkah ku terhenti. Jantung ku berdetak kencang. Tepat di depan mata ku sendiri Gilang dan Bela berda di kafe ice cream dan mereka suap-suapan. Kue yang tadi ku pegang langsung jatuh ke tanah. Aku berlari menjauh. Tapi Bela melihat ku dan dia mengejar ku..
“Sya.... Tasya.... aku..... sya....”
Aku terus berlari. Bahkan aku tidak menyadari Gilang yang kini tiba – tiba sudah berdiri di hadapanku.
“Sya, aku… aku…”
“Udah, aku udah tau kok, engak usah kamu jelasin lagi lang..”
“Sya, aku sama Gilang.. cuma.....”
“Cuma apa? Hianatin aku? Menusuk aku dari belakang? Iya?”
“Sya, aku memang pacaran diam – diam sama Gilang beberapa bulan ini. Aku mau jelasin. Tapi.”
"Uudah, aku muak liat kalian. Jangan perlihatkan muka kalian di depan ku lagi!”
“Sya, aku…”
“Tega kamu ngehianatin aku. Emang jahat kalian berdua.”
Air mata ku berjatuhan. Aku menyetir mobil ku dengan kecepatan tinggi. Entah ke arah mana, sampai tau tau aku tiba di pantai. Sekedar untuk menenangkan diri aku sengaja berteriak sekencang – kencangnya.
“Kenapa kamu melakukan ini sama aku Lang?! Kenapa?! Kamu jahat…!!!”
Disaat emosiku yang benar benar melonjak tanpa sadar mata ini menangkap kaleng disamping. Entah dapat pemikiran dari mana langsung saja aku lempar seolah-olah aku melemparkan semua beban hidupku selama ini.
“Awwww. Sial. Siapa ni yang ngelempar kepala aku?!”
“Aduh. Mati aku. Kok aku nggak tau ya disitu ada orang.”
“Ehhh loe. Sini nggak loe. Loe kan yang ngelempar kaleng ini ke gue?”
“Gue? Bukan. Enak aja main tuduh sembarangan” elak ku berusaha membela diri.
“Disini cuma ada loe sama gue doank. Mana mungkin ada orang lain lagi. Lagian loe kan yang dari tadi teriak teriak kayak orang stress.”
Busyet, aku di bilang stress.
“Enak aja. Gue di bilang stress. Loe itu yang stress, main tuduh sembarangan lagi.”
“Nggak usah nyolot. Buruan minta maaf.”
“Nggak mau. Wueek.”
Dan tanpa ba bi bu, aku langsung kabur. Masuk kedalam mobil dan langsung berlalu pulang. Sudah tau suasana hatiku buruk, kenapa masih harus di tambah dengan ketemu orang yang malah memperburuk keadaan. Menyebalkan.
Saat tiba di rumah aku segera menuju kekamar mandi. Hari juga sudah hampir malam. Berharap suasana hatiku bisa lebih baik, ternyata masih sama. Air mata ini kembali menetes mengingat kejadian tadi. Tanpa sadar aku tertidur.
Suara deringan alaram yang memekakan terlinga membuatku terjaga. Mata ini masih terasa berat. Sepertinya efek karena terlalu banyak menangis sebelumnya. Namun saat mata ini melihat jarum yang tertera, rasa mengantuk itu pun langsung sirna. Astaga, mampus. Aku pasti telat.
Cerpen I hate you but i love you
“Untung cuma telat 3 menit,” gumamku saat pertama kali menginjakan kaki di kelas.
“Pagi anak-anak. Kita hari ini kedatangan murid baru pindahan dari Bandung. Silahkan perkenalkan nama kamu.”
“Pagi semuanya. Nama ku gue Rendi. Aku siswa pindahan dari Bandung.”
“Rendi.. kamu silakan duduk sama shila.”
Sekilas aku kembali melirik kearah anak baru itu. Ingatan ku segera bekerja. Aku yakin aku pernah melihatnya. Tapi dimana ya?
“Ketemu lagi kita.”
“Ya?” aku menoleh. Dan saat itu aku langsung yakin. Dia kan cowok nyebelin korban lemparan kaleng kemaren. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini.
Rendy tidak membalas, hanya matanya yang sedikit menyipit kearahku. Tatapan mata permusuhan. Bodo amat. Aku lebih memilih untuk mengabaikannya. Bahkan sampai tiba giliran pulang sekolah.
“Sya, mau pulang bareng nggak.”
Aku menoleh sambil menatapnya sinis. Setelah dengan kurang ajarnya dia merampas pacar aku kini dengan tanpa dosanya, Bela menghampiri.
“Pergi aja deh loe. Jauh jauh dari hidup gue” Aku sama sekali tidak perlu menahan diri untuk menjaga bicara.
Bela tidak menjawab. Kepalanya sedikit mendunduk. Sepertinya merasa sedikit bersalah, tapi aku sama sekali tidak perduli.
“Bela, ayo kita pulang.”
Tanpa menoleh, aku tau itu suara Gilang. Dasar cowok brengsek.
“Sya, gue duluan ya.”
Aku hanya membuang muka, barulah setelah keduanya menghilang aku kembali menangis. Aku baru tau kalau di hianatin itu rasanya sesakit ini.
“Kenapa loe? Iri ya temen loe punya pacar sementara loe nggak?”
Aku menongak, mendapati wajah Rendi langsung menyambutku.
“Diem dech loe kalau engak tau apa-apa soal gue.”
“Dasar aneh” gumam Rendi lirih namun masih mampu ku tangkap.
“Loe yang aneh, rese.”
Selesai berkata aku segera bangkit berdiri. Berlalu tanpa kata lagi. Namun bukannya pulang, langkah kaki ini malah membawaku kearah taman sekolah. Apalagi yang bisa kulakukan disini selain kembali menangis meratapi nasip yang menimpaku.
Dan hal itu tidak hanya terjadi sekali. Sejak aku belum bisa move on dari Gilang dan Bela aku selalu ke taman untuk menangis. Bukan hanya taman sekolah tapi juga taman kota. Dan itu lah yang aku lakukan saat ini.
“Tuhan memang nggak adil” keluh ku disela sela isak tangis.
“Siapa bilang?”
Aku menoleh. Ah lagi – lagi dia. Dengan cepat aku membuang muka sembari berujar. “Mau ngapain lagi si loe Ren?”
“Loe yang ngapain disini perasaan gue udah dari tadi.”
“Loe ngikutin gue ya? Iya kan?” tuduh ku langsung.
“Ngapain juga gue ngikutin elo. Dasar cewek aneh.”
Aku terdiam. Percuma juga menghadapi anak yang satu ini. Sehingga aku memilih mengabaikannya dan menganggap dia tidak ada.
“Sya, loe kenapa nangis. Gue kan tadi cuma bercanda.”
Aku terdiam, tapi air mata ini masih terus menetes.
“Apa karena Gilang dan Bela?”
Aku menoleh kaget. Pertanyaan dari Rendi sama sekali tidak pernah ku duga.
“Nggak usah mengelak. Gue ngerasa kok. Ada yang aneh sama kalian. Gue ngerasa loe benci banget sama mereka.”
“Bukan urusan loe,” ujar ku ketus.
“Memang bukan urusan gue, tapi loe tau nggak si katanya kalau kita cerita tentang masalah kita sama orang lain, beban kita akan berkurang.”
Kali ini aku mendunduk. Sepertinya ucapan Rendi ada benarnya. Dan sebelum aku menyadari apa yang aku lakukan, cerita itu pun meluncur mulus dari mulutku.
Cerpen I hate you but i love you
“Woi, ngelamun aja. Kesambet entar.”
Merasa kaget aku langsung menoleh. Lagi lagi wajah Rendi yang ku temui. Heran juga kenapa beberapa hari ini tu orang selalu berkeliaran di sekitar aku ya. Bahkan saat aku di tepi pantai sendirian begini.
“Eh… Enggak kok” elak ku sambil mencoba tersenyum. Rendi ikut tersenyum. Tanpa kata ia segera duduk di sampingku.
“Loe sering kesini? Atau jangan jangan loe ngikutin gue. Kok kayaknya dimana mana gue selalu ketemu loe terus.”
“Geer banget si. Gue kesini itu mau liat matahari terbenam tau.”
“O” aku hanya beroh ria sambil mengangguk membenarkan.
Untuk sejenak kami berdua terdiam. Suasana senyap yang menyenangkan.
“Bagus ya.”
Keningku sedikit berkerut saat menoleh kearah Rendi. Tapi dia hanya memberi isarat untuk menatap kedepan. Dimana tampak bola keemasan yang mulai kembali balik keperaduannya. Menatap matahari terbenam di tepi pantai benar benar keindahan tersendiri yang tidak pernah aku bayangkan.
“Iya. Bagus banget.”
Tanpa sadar bibir ini tersenyum. Bahkan aku juga tidak menyadari kala tatapan Rendi yang beralih tak berkedip kearahku. Yang aku tau aku merasa damai.
Cerpen I hate you but i love you
“Sya, gue minta maaf. Gue.”
Nggak tau kesambet apa, pagi ini Gilang menemui ku dan tiba tiba mengatakan maaf. Memangnya dia pikir sesederhana itu.
“Please ya. Jangan ganggu hidup gue lagi.” Kataku sebelum kemudian berlalu. Sialnya aku malah kesandung dan jatuh. Ya Tuhan.
“Eh cewek rese udah datang. Kenapa loe nangkep kodok?”
Rendi? Lagi? Astaga. Menambah buruk suadana hati aku saja. Dengan cepat aku berlalu.
Saat isitrahat tanpa sengaja aku melihat Gilang sama Bela lagi mesra-mesraan di samping sekolah. Hatiku sakit banget. Kenapa aku harus ngeliat mereka coba, aku berlari meninggalkan mereka dan menangis di Belakang sekolah.
“Nangis mulu, nggak cape ya?”
“Hei, loe itu hantu ya? Gentayangan dimana mana. Kenapa si gue harus ketemu sama loe terus,” geram ku saat melihat Rendi yang kini ada disamping.
“Jangan salahin gue, salahin loe sendiri kenapa selalu nangis sambil menghampiri gue.”
Merasa kesal aku segera bangkit berdiri. Berlalu meninggalkan Rendi sendirian.
“Eh, Cewek rese. Mau pulang bareng engak? Mumpung gue lagi baik hati ni sama lo.”
“Engak gue bawa mobil sendiri kok.”
“Awas kalo lo ikut gue lagi.”
“Siapa yang ngikutin elo si. Aneh banget.”
Aku terus menyetir. Namun bukannya kerumah gue malah kembali kepantai. Lama aku berdiri disini. Meratapi nasip yang aku alami. Jujur saja aku sama sekali tidak belum bisa melupakan Gilang. Pikiranku benar benar di penuhi dengannya. Bahkan aku sama sekali tidak menyadari kaki ini yang terus melangkah.
“Apa bener ini jalan gue. Kenapa gue yang harus ngalamin ini semua. Cobaan ini terlalu berat. Mereka bohongin gue 2 tahun.”
“Eh cewek rese. Gila loe ya. Loe mau mati.”
Suara itu lagi. Apa aku berhalusinasi. Kenapa sepertinya ada suara Rendi. Dan saat aku menoleh.
“Apaan sih Ren, lepasin gue.”
“Loe gila ya, Loe mau bunuh diri?. Hei, loe masih punya nyokap sama bokap. Loeengak sayang apa sama mereka?!”
“Mereka aja engak sayang sama gue Ketemu aja sebulan sekali. Mereka tuh ngurusin urusan kerjanya masing. Engak mikirin anaknya gimana.”
“Sya, mereka itu kan kerja juga buat loe. Kalo mereka ngak kerja loe ngak mungkin bisa di sekolah elit kayak gitu. Loe jangan mikirin diri sendiri aja donk. Pikirin org yang ada di skitar loe juga. Masih ada orang yang sayang sama loe.”
“Siapa?”
“Gue!”
“Hh…”
“Maksut gue temen…”
“Loe…”
“Lepasin gue ren. Kenapa sih loe?”
“Jalan loe ini salah sya. Uudah dengerin gue.. sini.”
“Eeehhhh... loe kenapa gendong gue.”
“Abisnya lo ngak denger kata gue sich.”
“Sya.... gue....gue... jujur... gue ngax mau kehilangan loe... gue... sayang sama loe...”
“Iya, gue tau sebagai teman.”
“Bukan gitu. Sebagai lebih dari teman.”
“Maksud loe?” tanya ku bingung.
“Gue suka sama loe semenjak gue pertama kali ngeliat loe ngelemparin gue pakai kaleng itu.”
“Gue kan engak sengaja. Loe sich maen tuduh aja.”
“Jujur, gue saying sama loe, Loe mau nggak jadi pujaan hati gue, maksut gue jadi pendamping hidup gue, jadi pacar gue, jadi….”
“Bebelit banget sich lo ngomong nya,” gerutku. “Tapi gimana ya ren, gue engak mau kehilangan lagi orang yang gue syang.”
“Tapipi sya, gue bukan Gilang. Gue benci kalo loe samain gue kayak Gilang. Gue beda kayak dia. Sumpah, gue bakal jagain loe sama kayak gue jagaain gue sendiri.”
Rendi belutut di hadapan ku sambil megang tangan ku.
“Gue mohon terima gue sya. Gue mohon. Gue sayang sama loe.”
“Sori ren.. gue... ngax bisa...”
“Gitu ya? Gue ngerti kok. Loe masih ngak bisa ngelupain Gilang kan?”
“Gue bakal berusaha ren... buat loe.. Makasih buat selamanya. Udah bikin gue semangat hidup lagi.”
“Apa?”
“Loe ngak budeg kan? Gue mau jadi pacar loe sekaligus jadi pedamping hidup loe.”
“Beneran?. Ah, gue seneng banget Tasya.” Kata Rendi sambil mengandeng tangan ku sembari berlarian di pantai.
Kali ini aku tersenyum. Berharap ini merupakan langkah awal dari hari bahagiaku. Rendi memang bukan Gilang, dan aku berharap di tidak menjadi seperti Gilang. Biarlah Gilang menjadi masa lalu dan Rendi menjadi masa depanku.
_THE END_
Biodata penulis :
Nama: Margareta
email: rolen_qiw@yahoo.com
0 komentar:
Silakan Gunakan Kolom berikut Untuk Bertanya Lebih lanjut"! Salam KELUARGA BESAR O-KAO!