Monday 16 September 2013

Mengumpulkan Rintik Hujan



Mengumpulkan Rintik Hujan : Sebuah Kajian Sederhana
Pada Kitab Hujan Karya Nana Sastrawan
Oleh : Maulana Rizky
Pada hakikatnya hujan merupakan jatuhan tetes air dari langit, baik berupa cairan maupun padat ( hujan es atau batu ). Bagi sebagian orang, kerap kali hujan dijadikan biang petaka yang menghambat rutinitas mereka sehari – hari. Belakangan ini, penyebab terjadinya bencana alam di negeri ini disebabkan oleh hujan. Bisa dilihat kejadian di Bandung, Bogor atau Ibukota yang sudah menjadi langganan banjir tiap tahun.
Akan tetapi hujan bagi seorang penyair bukan selalu menjadi petaka. Buktinya Nana Satrawan, hujan dijadikan sebagai anugerah yang tak ternilai harganya. Hujan menjadi inspirasi dalam menulis puisi yang meliputi berbagai kejadian sehingga terhimpun dalam sebuah Kitab Hujan, buku kumpulan puisi yang kedua setelah Nitisara.
Ternyata membaca Kitab Hujan untuk mendapatkan nilai yang terkandung yang ingin disampaikan Nana sebenarnya tidaklah sulit. Sampul bukunya sudah memberikan kisi – kisi apa saja yang terkandung di dalamnya. Sampul buku tersebut bergambar beberapa anak manusia yang sedang meratapi sebuah pusara, berbalut awan hitam dan rintik hujan di atas langit senja. Dan benar saja, ketika saya menghantamkan Kitab Hujan lembar demi lembar, ilustrasi tadi cerminan dari isinya.
Mengaji Kitab Hujan bagi saya adalah pekerjaan yang melelahkan dan berat ‘parahnya’ puisi – puisi ada dikelompokan menjadi empat bab dengan beragam sub – tema. Tapi ini adalah tantangan yang mengasyikan, saya harus menghitung ‘rintik hujan’ yang dijatuhkan Nana Sastrawan.

Perjalanan yang panjang
            Di awal bab ini menurut saya adalah sebuah perjalanan panjang yang dilalui Nana. Langkah – langkah yang dilalui terekam rapi oleh guratan tinta hitam. Nana berhasil meracik berbagai imajinasi menjadi kesatuan ( mungkin ) tidak ingin dilupakan begitu saja. Tengoklah puisi percakapan malam

Aku pulang membawa kota yang menjerit dalam hatimu
menyuguhkan ceritacerita harimau ke depan topengmu
            yang terbelah
menggenggam kekosongan dengan cakar malam, mencabik
luluh lantah
dan kau bukakan pintu penuh lugu

( Percakapan Malam, hlm 36 )
           
            Masih ada Tapak, Tubuh Lima warna yang merupakan puisi sejenis. Tema urban pun tak luput Nana rekam. Sebuah gambaran yang benar – benar terjadi di zaman sekarang, dalam Korban Tradisi, Delapan Belas Nana menggambarkannya secara gamblang.

....
sesampainya di dalam pengamen itu hanya terheran,
orangorang duduk dan bercanda ria sambil memakan bekal
masingmasing membelakangi pagelaran wayang,
campur sari dan deklamasi

( Korba Tradisi, hlm 25 )

            Dan akhirnya Nana menutup perjalanan di bab ini dengan senandung yang begitu mesra : seorang sejati adalah yang mengerti harga diri.

Melantukan kematian
            Seyogyanya kematian menjadi sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap makhluk yang bernafas. Bagi umat beragama, kematian dipandang sebagai perjumpaan yang takkan terelakan dengan Sang Pencipta. Kematian merupakan suratan yang sulit dengan berbagai cara atau kekuatan.
            Kematian memang perpisahan yang menyakitkan. Perpisahan dengan orang – orang yang kita cintai bukanlah hal gampang untuk dilupakan. Dan harus kita lakukan sebagai manusia yang waras adalah mempersiapkan sesuatu demi menyambut malaikat pencabut nyawa yang semakin mendekati batang hidung kita.
Pada bab ini puisi – puisi Nana dirasa amat gelap. saya menyakini dalam diri bahwa bab kedua ini adalah bab yang paling ‘mencekam’ dan mengingatkan pada arti kematian yang sesungguhnya. Kematian yang menjadi tanda tanya bagi tiap manusia, Nana ungkapkan pada Kidung Kematian.

Semakin dekat
ke sebuah persinggahan yang dulu kita impikan
namun terkadang lari saat mengingatnya
tak terelakan, kita akan terdiam di tengah kesendirian
semakin dekat
tak ada yang bisa menukarnya dengan sebait puisi
atau berkarung harta karun
sembunyi pun kita tak kuasa

dan kita akan ditanam dalam lautan darah
dipanggang di tengah panas yang tak terbayang
sang waktu hanya menunggu dengan bisu
...

( Kidung Kematian, hlm 60 )

Bahasa Cinta
            Tadinya saya mengira bahwa saya akan sedikit terhibur dan santai setelah dua bab awal yang dilewati dengan mengarungi lorong gelap multitafsir. Tapi ternyata tidak, saya masih harus memutar – mutar otak agar mengerti maksud yang dikehendaki si penyair diterima dengan baik oleh pembaca. Tadinya juga saya mengira, di bab ini saya akan menemukan cinta remaja yang penuh dengan berkasih – mesra. Dan saya tertipu untuk kedua kalinya. Tema cinta yang diusung Nana ternyata tidak sedangkal apa yang saya pikirkan. Semua terbungkus oleh pergulatan makna yang susah untuk dilerai sembarang orang. Sehingga puisi – puisi di bab ini terasa lebih elegan dan berwibawa.
            Tengoklah puisi berjudul Kitab Hujan
...
hanya ada sepasang mata
meneteskan air mata
tak terhingga
dan air mata itu bersuara
menjerit bahkan tertawa

air mata itu menjadi gelombang pasang
menggulunggulung semakin riuh
memporakporandakan sepasang mata
dan pecah
berhamburan air mata
lalu menjadi gelombang
dan gelombang itu saling menyerang
...

            Sebait puisi untukmu dan perawan mata hujan pun berkisah tentang tema cinta yang sama : kepekatan yang kental lagi menghantui
            Pada Cinta Walangsangit, saya melihat gaya sutardji Calzoum Bachri dengan kredonya dan Remy Sylado dengan mBelingnya bercampur dan bergumul mesra.



1)
Diamdiam
ciumcium
 blamblamblam
dumdumdumdum

orangorang saling menuduh
yang itu diam, yang ini cium
ya, blam dum blam dum, semakin riuh

tengah rumah, kamar resah
berlarian telanjang, ada juga yang memakai kutang
sambil bawa pentungan yang penuh uban dan lusinan arang
aduh, blam dum blam. Kegencet bang!
Apa ada yang lebih besar bang! Yang ini kurang kencang

diamdiam
blamblam
dumdum
ciumcium

yang di sana bingung
yang di sini murung
orangorang pada sibuk jemur kutang dan celana dalam

( Cinta Walangsangit, hlm 68 )
            Dengan puisi di atas, saya sedikit tersenyum walaupun harus sejenak merenung. Dan setelah membaca bab ketiga ini, saya semakin yakin bahwa cinta tak selamanya menyenangkan.

Persembahan dari Nana Sastrawan
            Di bab terakhir ini, Nana mencoba mempersembahkan ‘hujan’ bagi orang – orang yang sangat spesial. Boleh jadi ini adalah bab yang paling ‘ringan’ dan tak perlu mengernyitkan dahi seperti bab – bab sebelumnya. Sebuah anti – klimaks yang pas pada sebuah kitab.
            Kitab Hujan memang kaya imajinasi, subur dengan pilihan kata ( diksi ) dan penuh kabar duka yang tersampaikan di setiap kalimatnya, membuat kita berfikir untuk menafsirkan segala teka – teki yang terkandung di dalamnya. Ada hal yang sedikit mengganggu saya dengan hadirnya Kitab Hujan di tangan saya, setidaknya saya bisa relaksasi dan terhibur di akhir pekan kala membacanya. tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Mungkin ketidaktahuan saya tentang puisi adalah penyebabnya.
            Terlepas dari itu semua, Nana Sastrawan menambah deret panjang Sastrawan muda yang ada di khasanah sastra Indonesia. Dan mudah – mudahan Kitab Hujan mampu menggantikannya kitab – kitab milik saya di rak buku yang telah mulai lapuk dimakan usia.

0 komentar:

Silakan Gunakan Kolom berikut Untuk Bertanya Lebih lanjut"! Salam KELUARGA BESAR O-KAO!